SUMBER HUKUM DALAM TATA HUKUM INDONESIA

SUMBER HUKUM

 Sumber hukum ialah: segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.

Sumber hukum dapat juga diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara.

Istilah sumber hukum memiliki banyak pengertian, dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filsufis, dan ilmu hukum.

Bagi sejarawan hukum menggunakan istilah sumber-sumber hukum dalam dua arti yaitu dalam arti sumber tempat orang-orang untuk mengetahui hukum dan sumber bagi pembentuk undang-undang menggali bahan-bahan  dalam penyusunan undang-undang. Sumber dalam arti  tempat orang-orang mengetahui hukum adalah semua sumber-sumber tertulis dan sumber lainnya yang dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat, dan berlaku bagi orang tertentu.

Tempat-tempat dapat ditemukannya sumber hukum berupa undang-undang , putusan-putusan pengadilan, akta-akta, dan bahan-bahan hukum dan non hukum.

Dari prespektif sosiologis, sumber-sumber hukum berarti factor-faktor yang benar-benar menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Factor tersebut adalah fakta dan keadaan yang menjadi tuntutan social untuk menciptakan hukum. Dipandang dari segi sosiologi, hukum tidak lebih dari cerminan realita social. Oleh karena itu hukum dikondisi oleh factor-faktor politik, ekonomi, budaya, agama,dll. Menurut pandangan sosiologis, legislator sebagai pembentuk undang-undang harus memperhatikan factor-faktor tersebut.

Dari pandangan filsufis, istilah sumber hukum juga memiliki dua pengertian. Pertama, arti mengenai keadilan yang merupakan esensi hukum. Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini sumber hukum menetapkan kriterium untuk menguji apakah hukum yang berlaku sudah mencerminkan  keadilan dan fairness. Dari sudut pandang filsufis hukum dipandang sebagai aturan tingkah laku, sudut pandang tersebut akan menelaah  lebih dalam mengenai esensi hukum, yaitu nilai yang diemban oleh hukum tersebut. Merupakan titik berat dari pandangan filsuf bahwa hukum harus mengusung nilai-nilai keadilan dan fairness dengan merujuk kepada factor-faktor politik, ekonomi, budaya, dan social.

Sumber hukum dapat ditinjau dari segi materiil dan segi formal.

  1. Sumber hukum material, dapat dinjau dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologis, filsafat, dan sebagainya.

Contohnya:

  • Seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum
  • Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

 

  1. Sumber hukum formal (berdasarkan cara pembentukannya)
  • Undang-undang (statue)
  • Kebiasaan (costum)
  • Keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie)
  • Traktat (treaty)
  • Pendapat sarjana hukum (doktirn)
  1. Undang-undang

Undang-undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. Menurut BUYS, undang-undang itu memiliki dua arti, yakni:

  • Undang-undang dalam arti formal

Setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya ( misalnya, dibuat bersama-sama dengan parlemen)

  • Undang-undang dalam arti materil

Setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.

Syarat berlakunya undang-undang

Syarat mutlak berlakunya sebuah undang-undang adalah diundangkan dalam lembaran Negara (oleh menteri sekretaris Negara).

Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal diberlakukannya undang-undang tidak disebutkan didalam undang-undang, maka tanggal berlakunya adalah 30 hari setelah diundangkan dalam lembaran Negara, untuk jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lain baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam lembaran Negara.

Sesudah syarat itu dipenuhi maka berlakulah  suatu ‘ ficite’ dalam hukum’ setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang’

Berakhirnya undang-undang, yakni:

  • Jangka waktu berlaku telah ditentukan oleh undang-undang itu sudah lampau
  • Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi
  • Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau yang lebih tinggi
  • Telah ada undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang terdahulu.

Lembaran Negara dijaman hindia belanda disebut ‘ staatsblaad disingkat Stb atau S ‘.

Setalah undang-undang diundangkan dalam lembaran Negara, kemudian diumkan dalam berita Negara dan diumumkan melalui siaran pemerintah.

Jaman Hindia Belanda berita Negara disebut “ de javasche courant”

Jaman jepang disebut ‘kan po’.

Perbedaan berita Negara dengan lembaran Negara

  • Lembaran Negara ialah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan-peraturan Negara dan pemerintah agar sah berlaku. Penjelasan dari undang-undang dimuat dalam tambahan lembaran Negara yang mempunyai nomor berurut.

Misal: LN. tahun 1962 No.1 (LN.1962 /1)

L.N. 1950 No.56 isinya : undang-undang dasar sementara

Sedangkan berita Negara : penerbitan resemi departemen kehakiman/menkumham (secretariat Negara) yang memuat hal-hal yang berhubungan peraturan-peraturan Negara dan pemerintah dan memuat surat-surat yang dianggap perlu, seperti akta pendirian badan hukum.

  1. Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan diterima dalam masyarakat, kebiasaan itu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran  perasaan hukum maka dengan demikian timbullah suatu kebiasan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

Contoh: apabila komisoner sekali diberi upah 10 % dri hasil penjualan, dan komisoner lain mengikutinya, maka Karena itu timbul suatu kebiasaan (usuance) yang lambat laun berkembang menjadi hukum kebiasaan.

Masalahnya adalah apakah hakim juga memperlakukan hukum kebiasaan?

Menurut pasal 15 algemene bepalingen van wetgiving voor Indonesia (AB) “ kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlukan’.

Contoh : dalam dalam Pasal 1339 KUHPerdata/sipil disebutkan : persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk apa yang telah ditetapkan dengan tegas oleh persetujuan-persetujuan itu tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat persetujuan-persetujuan itu diwajibkan oleh kebiasaan.

 Keputusan Hakim

Peraturan pokok yang pertama dikeluarkan pada jaman hindia belanda ialah algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesia disingkat AB ( ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundang-undangan untuk Indonesia ).

Dikeluarkan pada 30 april 1847 dalam staatsblad 1847 No. 23 dan hingga saat ini msih berlaku berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa:” segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.

Pasal 22 AB : ‘ de regter, die weitgert regt te spreken onder voorwendsel van stilzweigen, dulsterheid der wet kan uit hoofed van rechtswijgering vervolgd worden”.

Artinya : ‘ hakim menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili’.

Keputasan hakim yang berisikan suatu perkara sendiri berdasarkan Pasal 22 AB menjadi dasar putusan hakim lainnya untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut menjadi sumber hukum bagi pengadilan. Disebut jurisprudensi.

Jurusprudensi ada dua;

  • jurisprudensi tetap

keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputsan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan.

 

  1. traktat

pacta sunt servanda berarti perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati.

  1. Pendapat para sarjana (doktrin)

Dalam jurisprudensi terlihat hakim sering menggunakan pendapat para sarjana hukum yang terkenal.

Mahkamah internasional dalam piagam mahkamah internasional (statute of the internasional court of justice ) pasal 38 ayat 1, dlam menyelesaikan perselisihan dapat mempergunakan:

  • Perjanjian internasional (international convention)
  • Kebiasaan internasional (international costums)
  • Asas-asas hukum yang diakui bangsa beradab (the general principles of law regonised by civiled nations)
  • Keputusan hakim dan pendapat sarjana hukum