Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan di Indonesia

Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan di Indonesia

Pendahuluan
Perlindungan terhadap anak dan perempuan merupakan bagian penting dari upaya penegakan hak asasi manusia. Di Indonesia, berbagai regulasi dan kebijakan telah diterapkan untuk memastikan hak-hak anak dan perempuan terlindungi dari diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi. Dalam materi ini, kita akan membahas dasar hukum, tantangan implementasi, serta solusi untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan.

Dasar Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan
1. Undang-Undang Dasar 1945
– Pasal 28B Ayat (2): “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
– Pasal 28D dan 28G: Menjamin perlindungan hukum dan hak atas rasa aman untuk semua warga negara.

2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (sebagaimana telah diubah oleh UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016)
– Mengatur hak-hak anak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran.

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
– Fokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga.

4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
– Menyediakan mekanisme perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

5. Konvensi Internasional
– Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
– Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Bentuk Perlindungan Hukum
1. Perlindungan Anak
– Pencegahan eksploitasi ekonomi dan seksual.
– Jaminan pendidikan dan kesehatan.
– Rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak korban kekerasan.

2. Perlindungan Perempuan
– Pencegahan kekerasan berbasis gender.
– Perlindungan hukum bagi korban KDRT, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.
– Akses terhadap keadilan melalui lembaga pendukung seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak).

Tantangan Implementasi
1. Kurangnya Pemahaman dan Edukasi
– Masih banyak masyarakat yang belum memahami hak-hak anak dan perempuan.

2. Budaya Patriarki
– Pola pikir yang merendahkan peran dan hak perempuan.

3. Kelemahan Penegakan Hukum
– Korupsi, lambannya proses hukum, dan intimidasi terhadap korban sering menjadi penghambat.

4. Minimnya Fasilitas Pendukung
– Kurangnya rumah aman (shelter) dan tenaga profesional seperti psikolog atau pendamping hukum.

Solusi dan Rekomendasi
1. Peningkatan Edukasi Publik
– Kampanye masif melalui media massa dan digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

2. Penguatan Kebijakan dan Penegakan Hukum
– Memastikan aparat penegak hukum memiliki sensitivitas gender dan anak.

3. Kolaborasi Lintas Sektor
– Kerja sama antara pemerintah, LSM, dan komunitas lokal untuk menciptakan sistem perlindungan yang komprehensif.

4. Pengembangan Infrastruktur
– Pembangunan lebih banyak rumah aman dan pusat layanan terpadu di setiap wilayah.

Penutup
Perlindungan anak dan perempuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan pemahaman, komitmen, dan sinergi yang kuat, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua.

Diskusi dan Studi Kasus
1. Bagaimana peran masyarakat dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan?
2. Studi kasus: Implementasi UU TPKS di daerah Anda. Apakah sudah efektif?

 

Faktor Kejiwaan Dalam Hubungannya Dengan Kejahatan

Kejahatan yg dilakukan seseorang tak terlepas dari faktor-faktor kejiwaan terganggu yg sedang dialami. Tentu untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut, diperlukan proses penyelidikan dari pihak yg berwenang.

Kejiwaan adalah tingkat kecerdasan, sifat dan perilaku, serta kepribadian seperti emosi, adaptasi dan minatnya terhadap sesuatu yg dapat di terka dengan pikiran yg selaras menimbulkan gerak berupa tindakan.

BAB IV PENEMUAN HUKUM

1.PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM
1)Hakim Merupakan Fakor Pembentukan Hukum
Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia, keputusan Hakim juga diakui  sebagai sumber hukum formal.

2)Keputusan Hakim Bukan Peraturan Umum
Dalam pasal 21 A.B, bahwa Hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Dan dalam Kitab Undang-undang Hukum Sipil Pasal 19917 ayat 1, bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu.

BAB III MAZHAB-MAZHAB ILMU PENGETAHUAN HUKUM

1.MENGAPAKAH ORANG MENAATI HUKUM
MAZHAB HUKUM ALAM
Adapun teori tentang Hukum Alam telah ada sejak Zaman dahulu yang antara lain diajarakan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada dua macam hukum, yaitu:

a.Hukum yang berlaku karena penetapan penguasa negara
b.Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik-buruknya, hukum yang “asli”

BAB II SUMBER-SUMBER HUKUM

1.SUMBER-SUMBER HUKUM MATERIAL DAN FORMAL
Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafatnya dan sebagainya.

contohnya:

a.Seorang ahli ekonomi akan mangatakan, bahwa kebutuhan pelbagai kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum

b.Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber Hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat

BAB I ARTI DAN TUJUAN HUKUM

1.MANUSIA DAN MASYARAKAT
I.Manusia Sebagai Makhluk Sosial

  Aristoteles (384-322 sebelum M), seorang ahli fikir Yunani  Kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia itu sebagai mahkluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi mahkluk yang suka bermasyarakat . Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.